Minggu, 03 Februari 2013 | By: Eka

(Review) Negeri 5 Menara

#21
Judul            : Negeri 5 Menara
Penulis         : Ahmad Fuadi
Penerbit       : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Cetakan ke-19, Oktober 2012
ISBN           : 978-979-22-4861-6
Dimensi       : 20 x 13,5 x 2,5 cm
Tebal            : 425 hlm
Cover           : Softcover


Kami berenam telah berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian kami. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. - hlm 405
Negeri 5 Menara merupakan sebuah novel yang terinspirasi oleh pengalaman penulis - Ahmad Fuadi - selama menempuh pendidikan di sebuah pondok pesantren. Ahmad Fuadi "Alif" harus mengurungkan niatnya melanjutkan pendidikan ke SMA demi memenuhi permintaan ibunya untuk masuk ke sekolah agama. Dengan setengah hati, Alif memutuskan untuk masuk ke Pondok di Jawa Timur, Pondok Madani. Meskipun, pada akhinya Alif menyadari bahwa Pondok Madani merupakan sekolah yang baik dan banyak yang bisa ia pelajari disana, keingginannya untuk bisa kuliah di ITB dan melanjutkan ke Jerman seperti Pak Habibie terus bergejolak di dalam hatinya. Mampukah Alif melawan gejolak hatinya dan berjuang sampai garis akhir menyelesaikan pendidikan di pondok? Ataukah ia akhirnya memutuskan keluar dari pondok dan mengejar mimpinya menjadi seperti Pak Habibie?
Bukannya gembira, tapi ada rasa nyeri yang aneh bersekutu di dadaku mendengar persetujuan mereka. Ini jelas bukan pilihan utamaku. Bahkan sesungguhnya aku sendiri belum yakin betul dengan keputusan ini. Ini keputusan setengah hati. -hlm 13
Membaca novel ini, lembar demi lembar, kita seperti sedang membaca buku harian seorang murid pesantren. Berbagai ungkapan perasaan senang, puas, sedih, marah, iri hati, putus asa, takut, dapat kita temukan dalam novel ini. Peristiwa demi peristiwa juga dideskripsikan dengan begitu apik. Mulai dari peristiwa kocak mengocok perut, tegang mendebarkan, bahkan keisengan ala remaja laki-laki dan perilaku para siswa yang dapat dikatakan norak, digambarkan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami sehingga, membuat kita seolah-olah bisa ikut merasakan kekocakan dan ketegangan yang terjadi, bahkan ikut merasa malu dengan sikap norak mereka.
Kring... kring... kami membunyikan bel sepeda, mencoba menarik perhatian. Berhasil. Beberapa kepala berkerudung putih menjenguk ke arah jendela. Melirik dan kemudian ketawa bersama teman lainnya sambil menutup mulut. Kami membalas dengan senyuman dan anggukan. Itu saja rasanya sudah menyenangkan. Dan memang hanya sampai disana batas keberanian kami. - hlm 128
Namun, ibarat gading yang tak retak, meskipun novel ini sudah menyandang predikat National Best-Seller, celah kekurangan pun ada dalam novel ini. Beberapa bagian dalam novel ini ada yang terkesan 'lompat' dengan bagian berikutnya, bahkan ada yang terkesan dipaksakan muncul. Selain itu, kesalahan teknis juga masih ditemukan seperti kesalahan tanda baca dan beberapa typo, padahal sudah cetakan ke-19 :( Namun begitu, beberapa kekurangan tersebut dapat dikatakan tidaklah cukup berarti, karena alur cerita dalam novel ini tetap dapat diikuti dan tidak membingungkan. Selain itu, ide cerita dalam novel ini juga tetap dapat dipahami dan dimengerti serta dapat tersampaikan dengan baik.

Yogyakarta, 3 Februari 2013

0 komentar:

Posting Komentar