Sabtu, 23 November 2013 | By: Eka

[Review] Ranah 3 Warna

#31
Judul       : Ranah 3 Warna
Penulis    : Ahmad Fuadi
Penerbit  : PT. Gramedia Pustaka Utama
Terbit     : Januari 2011 (Cetakan ke-7, Mei 2013)
ISBN     : 978 - 979 - 22 - 6325 - 1
Dimensi  : 13,3 x 20 cm
Tebal      : 473 hlm
Cover     : Softcover
Harga     : Rp 65.000,-

Ranah 3 Warna merupakan buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara. Dalam buku ini, Ahmad Fuadi mengangkat kisah Alif setelah tamat dari Pondok Madani. Bagaimana Alif mewujudkan mimpi yang ia ucapkan di bawah menara bersama para Sahibul Menara ketika masih berada di Pondok Madani.

Setamat dari Pondok Madani, Alif pulang ke kampung Maninjau dan bertemu dengan Randai yang sedang liburan semester. Pertemuannya dengan Randai tersebut membuka kembali mimpinya kuliah di ITB dan menjadi seperti pak Habibie. Demi menggapai mimpinya itu, berhari-hari Alif mengunci diri di kamar hanya ditemani bukit-bukit buku. Atas ketekunan dan kegigihan Alif bak tim Denmark, Alif pun dapat lulus ujian persamaan SMA dan memperoleh ijazah SMA meskipun harus dengan berat hati ia harus menguburkan impiannya menjadi seperti pak Habibie dan menerima kenyataan untuk memilih jurusan IPS. Berbekal ijazah SMA yang diperoleh Alif mengikuti UMPTN dengan memilih jurusan Hubungan Internasional, UNPAD. Jurusan yang akan mengantarkannya ke negeri menara impiannya, Amerika.

Alif pun kembali merantau ke Tanah Jawa, kali ini bukan untuk belajar ilmu agama di pondok, melainkan untuk belajar jalur umum, di sebuah universitas di Bandung. Perjuangan keras yang dialami Alif selama merantau di Bandung membuat dia menyadari bahwa "mantra" man jadda wajada yang diajarkan di Pondok Madani tidaklah cukup. Ia teringat "mantra" kedua man shabara zhafira, siapa yang bersabar akan beruntung. Perjuangan dan kesabaran Alif pun membuahkan hasil. Ia tak perlu lagi merepotkan amaknya untuk biaya hidupnya di Bandung. Sebuah kesempatan emas pun muncul. Kesempatan untuk dapat menjejakkan kaki di Amerika.
Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi hanya dengan sabarlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah Tuhan buat hati yang kukuh dan sabar. - hal. 468
Seperti novel pendahulunya, novel ini juga tidak ber-klimaks dan minim konflik antar tokoh. Konflik antar tokoh yang tampak begitu nyata hanyalah konflik antara Alif dan Randai, selebihnya sama dengan buku pertamanya, konflik batin Alif mewarnai hampir seluruh novel ini.

Pola dan gaya cerita yang digunakan dalam novel ini juga mirip dengan novel pertamanya. Sentuhan komedi juga ditemukan dalam novel ini meskipun tidak sebanyak dalam buku pertamanya. Namun demikian, novel ini tidak membosankan dan tetap mengasyikkan untuk dibaca bahkan dibaca berulang-ulang sekalipun.

Membaca novel ini, lembar demi lembar, membuat saya ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri terutama negara dengan 4 musim. Ingin rasanya dapat merasakan keindahan musim gugur dan musim dingin seperti yang digambarkan dalam novel ini. (loh kok malah curhat :D)
Di horizon, sayup-sayup tampak Pegunungan Laurentin yang berkopiah salju. Pepohonan rindang di sekeliling pondok bagai berlomba memamerkan warna-warni daun yang semakin cemerlang. Warna oranye datang dari daun american smoke, marun dimiliki daun white oak, sassafras menghasilkan merah, autumn purple jadi lembayung, dan tentunya canyon maple menghasilkan daun bernuansa merah menyala. - hal. 465
Yogyakarta, 23 November 2013

0 komentar:

Posting Komentar