Rabu, 26 Juni 2013 | By: Eka

Review : 9 Summers 10 Autumns

#23
Judul              : 9 Summers 10 Autumns
                        Dari Kota Apel ke The Big Apple
Penulis           : Iwan Setyawan
Penerbit         : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit   : 2012 (Cetakan ke-9, Oktober 2012)
ISBN             : 221 halaman
Dimensi          : 20 x 13,5 x 1,2 cm
Cover            : Softcover

Novel pertama karya Iwan Setyawan ini justru baru saya ketahi setelah membaca novel keduanya yang berjudul "Ibuk". Novel ini menceritakan kisah perjuangan hidup penulis dalam mewujudkan mimpi dan janjinya kepada orang yang dikasihinya. Janji yang ia ungkapkan pada bagian akhir novel ini.

"Melihat airmata Ibu jatuh saat itu, I told myself, I will not let this happen again. I want to make her a happy mother, a very happy mother. I want to do something for my family. I love them so much." (hlm 210)

Dengan begitu lugas dan dengan bahasa yang sederhana, Iwan Setyawan menceritakan kisah perjalanan kehidupannya. Kehidupan seorang anak sopir angkot yang lahir dan tumbuh di kaki Gunung Panderman, Kota Batu, yang berhasil menembus batas kemustahilan hingga menjadi seorang direktur di sebuah perusahaan multinasional di New York.

Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dan merupakan anak laki-laki satu-satunya. Bersama kedua orang tua dan keempat saudaranya, ia tinggal di rumah mungil berukuran 6 x 7 meter di Gang Buntu dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu kecil, satu dapur, dan satu kamar mandi. Sejak dari bangku SD, ia sudah memiliki prestasi di atas rata-rata hingga pada akhirnya diterima di IPB melalui jalur PMDK dan dinyatakan sebagai lulusan terbaik Fakultas MIPA dengan IPK 3,52. Setelah lulus, ia bekerja di Nielsen Indonesia, Jakarta selama 2 tahun kemudian pindah ke Danareksa Research Institue hingga memperoleh tawaran dari Nielsen New York.

Buku ini terdiri dari 36 bab yang menceritakan tokoh dan peristiwa yang berbeda. Masing-masing bab dalam novel ini dapat dikatakan sebagai cerita yang terpisah dan berdiri sendiri. namun, Iwan Setyawan mampu memberikan benang merah pada setiap babnya, dengan menghadirkan tokoh fiksi, seorang bocah kecil berseragam merah putih. Tanpa kehadiran bocah kecil ini, novel ini tentu hanya akan menjadi sebuah kumpulan cerita yang terpisah dan tidak saling berkaitan. Kepada bocah kecil inilah, Iwan Setyawan menceritakan kisah hidupnya, Ibu, bapak, dan saudara-saudaranya serta rumah mungilnya. Kehadiran bocah kecil ini dapat dikatakan sangat menolong penulis dalam memadukan kisah masa kini dan masa lalu menjadi satu alur cerita yang utuh. Meskipun masih ditemukan pula beberapa bab dalam novel ini yang seperti keluar dari alur cerita karena secara tiba-tiba Iwan Setyawan menyapa pembaca dan menceritakan kisahnya secara langsung kepada pembaca. Selain itu, perpaduan kisah masa lalu dan masa kini dengan batas yang tidak begitu kentara, kadang membuat kita, sebagai pembaca, tidak menyadari bahawa cerita telah beralih dari masa lalu ke masa kini.

Terlepas dari beberapa kekurangan dalam novel ini, novel ini tetap begitu menyentuh dan inspiratif, mampu menghadirkan semangat, dan arti kerja keras serta optimisme dalam menembus batas kemustahilan untuk menggapai mimpi.

Yogyakarta, 25 Juni 2013


0 komentar:

Posting Komentar