Minggu, 07 Juli 2013 | By: Eka

Review : Sang Abdi Praja

#24
Judul               : Sang Abdi Praja
Penulis            : Joze Rizal
Penerbit          : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit    : Juni, 2013
ISBN             : 978-979-22-9704-1
Tebal              : 347 halaman
Dimensi          : 20 x 13,5 x 2 cm
Cover            : Softcover

Sang Abdi Praja merupakan sebuah novel karya Joze Rizal yang terinspirasi dari pengalaman pribadinya ketika menempuh pendidikan di STPDN pada Tahun 1995. Sebelum membaca novel ini, saya mengira bahwa novel ini akan berisi pengalaman penulis selama menempuh pendidikan di STPDN, dari hari pertama masuk hingga luluas dari STPDN, namun ternyata novel ini hanya berisi pengalaman penulis ketika menjalani masa Opspek (Orientasi Program Studi dan Pengenalan Ksatrian).

Joze Rizal mengawali kisahnya dengan menggunakan sebuah prolog yang memperkenalkan dirinya kepada pembaca sebagai tokoh yang bernama Abdi Praja. Novel ini terdiri dari 48 bab yang secara keseluruhan menceritakan tentang "pembinaan" para senior (praja) STPDN kepada para calon praja selama masa Opspek yang dilaksanakan selama 4 hari. Bab-bab awal novel in menceritakan tentang perjuangan beberapa tokoh dalam novel ini sehingga dapat masuk dan diterima sebagai calon praja di STPDN. Dimulai dari kisah perjuangan seniornya, Maximum Hernandez, serta tiga teman seangkatannya, yaitu Bernie dari Merauke, Toro yang sebenarnya tidak ingin masuk ke STPDN dan Abdul dari Solo. Kisah penulis sendiri, dalam diri Abdi Praja, baru dimulai pada bab 7.

Abdi Praja merupakan calon praja (capra) dari kontingen Sumatra Barat. Bersama 25 calon praja asal kontingen Sumatra Barat yang lain, Abdi Praja tiba di kampus STPDN di Jatinangor dengan begitu riang, penuh rasa kagum, dan bangga. Untuk sementara para capra tersebut menempati barak DKI jakarta bersama capra dari kontingen daerah lain. Barak tetap kan dibagikan setelah tes pantukhir, tes penentuan terakhir. Capra yang lolos tes pantukhir dapat melanjutkan menikmati hidup di Kampus STPDN, bagi yang tidak lolos akan dipulangkan dengan biaya negara. Setalah tes pantukhir tersebut, capra yang dinyatakan lolos akan memperoleh fasilitas dari negara dengan lebih dahulu harus mengirim kembali barang yang dibawa dari rumah masing-masing yang dinyatakan terlarang.Usai memperoleh semua perlengkapan yang telah disiapkan dan tiba di barak masing-masing, para capra segera disambut oleh seniornya, madya praja dan nindya praja, yang siap memberi ‘pembinaan’. Hari demi hari, ‘pembinaan’ oleh para senior pun semakin keras dan mencapai puncaknya pada Masa Opspek yang dilaksanakan selama 4 hari. Selain pembinaan fisik, berbagai doktrin pun tak lupa dijejalkan ke dalam otak capra yang mulai kosong akibat stress, seperti “Sakit satu sakit semua, senang satu senang semua.” (hlm 204), “… kalian semua adalah saudara, tidak ada rasa apatis dan egoisme pribadi ... disini kalian semua anak Indonesia” (hlm 210), “Bekerja tepat waktu lebih baik daripada bekerja tak kenal waktu” (hlm 269), dan sebagainya. Selama masa Opspek tersebut, banyak capra yang tumbang, mulai dari pipi yang terasa perih, kaki terkilir hingga patah tulang, bahkan pingsan hingga harus beristirahat dan dirawat di KSA (Kamar Sakit Asrama).

Dengan begitu rinci dan detail, Joze Rizal menuliskan setiap adegan ‘pembinaan’ yang dilakukan oleh para senior sehingga seolah-olah kita melihat sendiri secara langsung setiap adegan ‘pembinaan’ tersebut. Mulai dari push up, tepuk nyamuk, cuci muka, bir STPDN hingga tendangan maut sepatu PDL. Ia juga menyisipkan satu bab khusus yang membahas setiap istilah dan makna hukuman yang dialami para capra, sehingga bagi pembaca yang tidak familiar dengan istilah – istilah tersebut tetap dapat memahami seperti apa hukuman yang dimaksud. Namun, terdapat pula arti beberapa istilah yang tidak dijelaskan secara eksplisit, seperti PPM (‘menghormat PPM bila bertemu senior’ - hlm 82) dan PUDD (‘cara merapikan PUDD’ – hlm 135), sehingga kita hanya bisa menebak-nebak maksud istilah tersebut.

Bagi pembaca yang penasaran terhadap misteri di balik tembok STPDN, novel ini mampu memberikan sedikit gambaran akan peristiwa di balik tembok STPDN tersebut. Namun, bagi pembaca yang menyukai ide cerita dengan intrik, memiliki konsep dan benang merah, novel ini akan terasa membosankan, karena novel ini hanya berisi cerita pengalaman penulis selama masa Opspek di STPDN tanpa sebuah klimaks dan kesimpulan.

Yogyakarta, 7 Juli 2013

0 komentar:

Posting Komentar