Sabtu, 15 Maret 2014 | By: Eka

(Resensi) Rantai 1 Muara

#35
Judul   : Rantau 1 Muara
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Mei 2013
ISBN : 978-979-22-9473-6
Tebal : 401 hlm
Dimensi : 20 x 13,5 cm
Cover : Softcover
Harga : Rp 75.000,-

Setelah teronggok beberapa bulan di rak buku sejak saya membeli buku ini pada bulan Juli 2013, akhirnya sempat juga saya membaca buku ini :) Bahkan rekor baru saya peroleh, membaca buku setebal 400an halaman dalam waktu kurang lebih 12 jam. Padahal biasanya butuh waktu minimal 3 hari. Loh malah curhat... hehe.

Rantai 1 Muara merupakan buku ketiga trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Sebuah kisah pencarian kebahagiaan, tujuan dan makna hidup. Buku ini merupakan kelanjutan kisah perjalanan perantauan Alif, seorang anak laki-laki dari ranah Minangkabau. Buku pertama berjudul Negeri 5 Menara dan buku kedua berjudul Ranah 3 Warna.

Kembalinya Alif ke Bandung usai mengikuti usai menunaikan tugas sebagai duta pelajar di Kanada membuatnya harus berhadapan kembali dengan masalah. Sesampainya di kamar kosnya, Alif disambut dengan sebuah kenyataan bahwa ia sudah terlambat 10 hari untuk mendaftar ulang. Padahal jika alif tidak menyelesaikan administrasi daftar ulang tepat waktu, maka ia akan dianggap cuti satu semester lagi. Tentu hal ini akan memperpanjang masa kuliahnya. Belum lagi tagihan tunggakan uang kos. Padahal uangnya telah habis ia belanjakan untuk membeli oleh-oleh sebelum pulang dari Kanada.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia di sekitar Tahun 1998 membuat Alif yang baru lulus harus kembali menelan pil pahit. Ia kehilangan pekerjaan sebagai responden tetap suatu majalah yang telah ia jalani sejak masih kuliah. Padahal ia harus tetap mengirimkan uang untuk Amak dan kedua adiknya di Minangkabau. Kondisi ini membuatnya mengambil keputusan gegabah sehingga ia dikejar-kejar debt collector. Dengan terus memegang teguh mantra man jadda wajada siapa bersungguh akan berhasil, Alif memperoleh pekerjaan pertamanya sebagai reporter di majalah Derap. Majalah yang sempat diberedel pada masa orde baru. Di majalah Derap inilah Alif bertemu kembali dengan Dinara, sahabat Raisa.

Beberapa bulan setelah bekerja di Derap, Alif berhasil memperoleh beasiswa Fullbright dan diterima di George Washington University di Washington DC. Ketika jalan menuju menara impiannya sudah terbuka lebar, hubungannya dengan Dinara justru merenggang. Berbeda dari dua buku sebelumnya yang dikemas dengan sentuhan humor yang hampir mewarnai seluruh isi buku, buku ketiga ini cenderung lebih serius dengan sentuhan humor yang lebih sedikit. Sentuhan humor yang saya temukan di buku ini ketika Alif menjalani hukuman “wawancara dengan pocong” akibat terlambat ikut rapat redaksi.

Ketika membaca bagian “wawancara dengan pocong ini” saya seperti bisa melihat wajah Alif yang meringis ketakutan ketika harus berjalan menuju kamar mayat setelah jam 12 malam, ketika mengucapkan salam, ketika menghitung jumlah mayat korban kerusuhan dan harus bisa melihat agar bisa mendeskripsikan kondisi mayat bahkan ketika melihat “pocong” yang sedang berbaring dan melotot menatapnya. Meskipun agak menyeramkan, bagian ini justru satu-satunya bagian buku ini yang mampu membuat saya tertawa. Jadinya tinggallah urusan antara aku dan jemaah mayat ini.
Di antara zikir, aku bisikkan salam kepada para penduduk kamar mayat ini. “Assalamualaikum.” Tidak ada jawaban. Dan aku memang tidak ingin mendengar ada yang menjawab. – hal 93
Salah satu hal yang sama dengan dua buku pendahulunya adalah gaya bahasa yang sederhana tetap digunakan dalam buku ketiga ini. Perbedaannya, pada buku ketiga ini kita akan lebih banyak menemukan penggunaan Bahasa Inggris terutama dalam percakapan para tokoh dibandingkan dua buku sebelumnya.

Was-was, sedih, gembira, haru bahkan jengkel mewarnai perasaan kita ketika membaca buku ini. Namun, sayangnya pendekripsian konflik yang dimunculkan dalam buku ini terasa kurang begitu menggigit. Meskipun bila dibandingkan dua buku pendahulunya, konflik dalam buku ini sudah lebih beragam. Jika dalam dua buku sebelumnya konflik yang dimunculkan hanya konflik batin Alif saja, dalam buku ketiga ini selain konflik batin juga dimunculkan konflik dengan tokoh lain.

Overall, kisah Alif dalam buku ini mampu menjadi sebuah bukti man jadda wajada siapa bersungguh akan berhasil, man shabara zhafira siapa yang bersabar akan beruntung dan man saara ala darbi washala siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan.

Yogyakarta, 15 Maret 201

0 komentar:

Posting Komentar